1 JULI HARI BHAYANGKARA

by / Wednesday, 27 June 2018 / Published in berita

Setiap tanggal 1 Juli, kita pasti akan ingat Polri. Dan mengingat Polri tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Brimob karena satuan inilah yang mengawali sejarah Polri. Apalagi hingga saat ini Brimob merupakan salah satu fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari Polri.
Sejarah mencatat dan membuktikan, bahwa Perang Pasific merupakan awal Perjuangan Polri. 7 Desember 1941, dengan tiba-tiba Jepang meluluhlantakkan Pangkalan Militer penting Amerika Serikat di Pearl Harbor dalam dua kali serangan mematikan pukul 07.15 dan pukul 07.30 waktu setempat.
Penyerangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor yang sempat menggetarkan dunia itu, telah membuka perang pasifik yang disebut-sebut sebagai “titik mati” bagi kekuatan militer Amerika Serikat pada era perang dunia ke dua. Peristiwa ini kemudian mengawali berakhirnya perang dunia ke dua.
Pascapenyerangan itu, dengan kekuatan militernya, Jepang yang tak terkendali kala itu kemudian melanjutkan invasinya ke Indonesia, merangsek masuk pertama kali melalui Tarakan Kalimantan Utara pada tanggal 10 Januari 1942.
Tentara Jepang mulai menguasai Tarakan yang memiliki posisi strategis sebagai penghubung jalur laut Australia-Filiphina dan Timur Tengah untuk kelancaran pasokan minyak. Setelah pertempuran berdarah dengan tentara Belanda di Tarakan, tentara Belanda pun menyerah pada tentara Jepang namun tak sudi menyerahkan ladang-ladang minyak di pulau ini sehingga Belanda membumihanguskan ladang-landang minyak itu.
Jepang memang bernafsu menguasai Asia. Dengan kekuatan militernya Jepang menaklukan wilayah-wilayah di Asia khususnya Indonesia dengan memenangkan propaganda-propaganda. Jepang menang satu langkah. Sejarah mencatat bahwa Jepang telah menanam “mata-mata” jauh sebelum masuk ke Indonesia. Sekitar tahun 1930an, orang Jepang telah tersebar di Tarakan Kalimantan Utara dan Makasar Sulawesi Selatan. Mereka inilah yang mempermudah masuknya Jepang ke wilayah-wilayah ini.
Perang terus memanas dan Pertempuran Asia Pasifik memasuki titik didih dan berbalik di tahun 1943. Amerika dan Inggris yang merupakan tulang punggung negara-negara sekutu pun menekan Jepang. Namun Jepang terus menguasai Asia.
Demi menguasai Asia itulah, Jepang lalu melatih pemuda-pemuda Asia termasuk Indonesia untuk memiliki keahlian militer sekelas militer Jepang. Tujuannya cuma satu; mereka ini dipersiapkan untuk mendukung dan membantu kepentingan Jepang dalam arena perang.
Di Indonesia, pada bulan April Tahun 1944 Jepang kemudian membentuk TOKUBETSU KEI SATSUTAI di Surabaya. Ini merupakan cikal bakal Pasukan Polisi Istimewa yang berasal dari 200 putra putra terbaik Indonesia. Jepang sengaja memilih putra-putra terbaik Indonesia ini untuk mengikuti latihan militer demi
kepentingan Jepang. Tokubetsu Kei Satsutai ini merupakan pasukan penggempur cadangan yang sangat penting bagi tentara Jepang. Mereka ini dididik sebagai pasukan khusus Jepang di Indonesia untuk menghadapi Sekutu karena Jepang telah mengetahui bahwa negara-negara Barat telah bersatu untuk memukul mundur Jepang dari Asia.
Saksi hidup pasukan Tokubetsu Kei Satsutai rekrutmen pertama tahun 1944, Kapten Polisi Purnawirawan Moekari yang kini berusia 93 Tahun tinggal di Kesatrian Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim mengisahkan hal tersebut. Jepang terus “berkibar” dengan kekuatan dan kekuasaan yang demikian hebat di Asia Pasifik.
Namun, tak lama berselang, takdir berkata lain. Sekutu datang dengan “darah mendidih” akibat kemarahan setelah Jepang meluluhlantakkan Pearl Harbor pun melakukan serangan balik yang tidak kalah mematikan. Bahkan benar-benar mematikan bagi Jepang yang kemudian “kehilangan muka” di dunia internasional.
Tanpa basa basi, Sekutu memuntahkan dua bom yang terspektakuler dalam sejarah perang dunia, yang mendatangkan akibat mengerikan di Jepang. Seperti minpi buruk, dua bom atom yang dijatuhkan dari atas langit Jepang itu, menghentikan detak jantung di dua kota utama Jepang yakni kota Hiroshima dan Nagasaki. Bom pertama menghantam Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan bom atom kedua yang tidak terbayangkan jatuh di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agutus 1945.
Ini menjadi momentum takluknya Jepang pada Sekutu. Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu lalu Perang Dunia ke dua berakhir.
Kekuatan-kekuatan militer Jepang di Asia khususnya Indonesia pun dilucuti, kecuali satu; TOKUBETSU KEI SATSUTAI atau Pasukan Polisi Istimewa karena sesuai Konvensi Jenewa Pasukan Polisi Istimewa bukan militer, tapi Polisi yang memiliki kemampuan militer dan tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Situasi peralihan suasana berakhirnya perang dunia kedua ini dimanfaatkan oleh Indonesia. Atas nama rakyat Indonesia Soekarno Hata Memproklamirkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, disusul kemudian berbagai peristiwa bersejarah lainnya termasuk momentum ini juga dimanfaatkan oleh TOKUBETSU KEI SATSUTAI atau Pasukan Polisi Istimewa untuk memproklamirkan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia yang berjuang untuk NKRI bukan lagi untuk kepentingan Jepang. Pada tanggal 21 Agustus 1945, empat hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Tokubetsu Kei Satsutai memproklamirkan diri untuk pertama kalinya bahwa Pasukan Polisi Istimewa adalah Polisi Republik Indonesia.
Dipimpin tokoh Polisi Inspektur Kelas 1 (Letnan Satu) M. Jasin, Proklamasi Pasukan Polisi Istimewa sebagai Polri ini dilakukan di markas Polisi Istimewa yang kini menjadi sekolah Saint Louis di Jalan Polisi Istimewa Surabaya.
“UNTUK BERSATU DENGAN RAKAYAT INDONESIA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 DENGAN INI SAYA NYATAKAN POLISI ISTIMEWA ADALAH POLISI REPUBLIK INDONESIA”.
Inilah naskah proklamasi yang dibacakan M. Jasin kala itu, kini diabadikan pada sebuah prasasti pada monumen Perjuangan Polri yang berada di Jalan Raya Dharmo Surabaya. Monumen ini diresmikan dan ditandatangani pada tanggal 2 Oktober Tahun 1988 oleh Panglima ABRI Jenderal TNI TRY SUTRISNO. Prasasti ini menjadi bukti sejarah dan apresiasinya atas Perjuangan Polisi Istimewa.
Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan M Jasin, kemudian dinugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 10 Nopember 2015 jam 14.00 WIB di Istana Negara Jakarta. Anugerah tersebut diterima oleh ahli waris M. Jasin, putri sulungnya bernama Rubiyanti.
Bagaimana dengan 1 Juli yang setiap tahun dirayakan oleh Polri sebagai HUT Polri?
Yang perlu diketahui bahwa penetapan 1 Juli tepatnya tahun 1946 dengan surat dokumen negara no 11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 bahwa Polri berada langsung di bawah Perdana Mentri (kalo sekarang Presiden dengan Perpres nomor 5 Tahun 2017).
Mari melihat dengan cermat tentang tanggal 1 Juli yang selama ini diklaim sebagai Hari Ulang Tahunnya Polri. Puluhan tahun sudah, Institusi Kepolisian Negara RI secara ‘turun temurun’ mewarisi 1 Juli sebagai hari lahirnya Polri. Dasarnya adalah Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946, yang berlaku mulai 1 Juli 1946. Itulah sebabnya tanggal 1 Juli beserta tahun 1946, dijadikan rujukan bagi tanggal dan jumlah usia Polri. Maka tidak heran jika baliho dan spanduk-spanduk perayaan tersebut bertuliskan HUT/Dirgahayu Polri ke- sekian (dihitung mundur ke tahun 1946). Entah kapan, dimana, mengapa dan siapa yang memulai menggunakan istilah HUT/Dirgahayu ini, tidak jelas.
Mencermati lebih jauh Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono, tanggal 25 Juni 1946, yang menetapkan bahwa mulai tanggal 1 Juli 1946 Kepolisian tidak lagi berada di bawah Kementrian Dalam Negeri melainkan beralih statusnya menjadi Djawatan tersendiri yang langsung berada di bawah Perdana Menteri. Isi dari Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946, hanya menyebutkan bahwa Kepolisian menjadi Djawatan tersendiri yang langsung berada di bawah Perdana Menteri, tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Dari surat Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946 ini, tidak satu kata pun apalagi kalimat yang menyebutkan 1 Juli sebagai hari kelahiran Polri, melainkan menetapkan status baru yang menempatkan Polri berkedudukan setingkat Departemen lain di negara ini dan Kepala Kepolisian Negara berada setingkat dengan Menteri Kabinet.
Maka dari mana asalnya 1 Juli diperingati sebagai HUT/Dirgahayu Polri/Bhayangkara? Tidak jelas siapa yang pertama kali dan sejak kapan perayaan 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Polri. Seluruh dokumen menyangkut hal ini yang ditemukan di Arsip Nasional RI (Dokumen Kepolisian Negara No. 351, 352, 1216, dan 1217), menyebutkan bahwa perayaan tersebut disebut sebagai Hari Kepolisian. Tidak satu pun dokumen yang menyebut tentang Hari Bhayangkara maupun HUT Polri seperti yang banyak dijumpai pada baliho-baliho maupun spanduk-spanduk tiap kali tanggal 1 Juli tiba. Dalam dokumen-dokumen resmi tersebut yang ada hanya tertulis Hari Kepolisian.
Setidaknya hal ini tercantum dalam seluruh dokumen resmi yang tersimpan di Arsip Nasional RI (Kepolisian Negara Nomor 352) tentang perayaan dua tahun Hari Kepolisian yang upacara perayaannya diselenggarakan pada tanggal 6 Juli 1948 di Yogyakarta.
Dokumen tersebut menyebutkan perayaan Hari Kepolisian bukan HUT Kepolisian ataupun Dirgahayu Kepolisian. Ada pula selembar dokumen lainnya pada nomor dokumen yang sama menyebut 1 Juli sebagai Police Day. Demikian pula dengan dokumen Kepolisian Negara bernomor 1217, yang berisi laporan intelijen mengenai tanggapan masyarakat tentang sekitar perayaan tersebut, yang juga seluruh dokumennya menyebutkan Hari Kepolisian.
Bahkan dokumen Kepolisian Negara Nomor 351, Order Nomor 83 poin 2 tentang peringatan dua tahun Djawatan Kepolisian Negara yang ditandatangani oleh Wakil kepala Kepolisian Negara, R. Soemarto, secara tegas menyebutkan bahwa perayaan Hari Kepolisian yang dilakukan pada 6 Juli 1948 tersebut merupakan perayaan terpisahnya Djawatan Kepolisian Negara dari Kementerian Dalam Negeri dan berdiri sendiri sebagai Djawatan tersendiri. Dan perayaan tersebut dilaksanakan oleh Panitia Penyelenggara Hari Kepolisian. Dari dokumen ini menjelaskan dua hal, yakni perayaan 1 Juli adalah perayaan terpisahnya Djawatan Kepolisian Negara dari Kementerian Dalam Negeri dan berdiri sendiri sebagai Djawatan tersendiri dan perayaan tersebut adalah perayaan Hari Kepolisian, bukan hari kelahiran Kepolisian.
Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946, jelas bukanlah dasar hari lahirnya Kepolisian dan tidak pula menyebut-sebut HUT/Dirgahayu Polri.
Jika 1 Juli dikatakan sebagai hari kelahiran Polri, dasar itu begitu lemah. Karena selain dengan tegas PP tersebut tidak ada menyebut hari lahirnya Polri melainkan terpisahnya Polri dari Kemendagri. Hal ini merupakan proses yang sangat –sekali lagi- sangat biasa terjadi dalam lembaga atau institusi negara seperti ini. Jika berdiri sendiri ini dianggap sebagai hari lahirnya Polri, juga sangatlah lemah.
Mari melihat bahwa momentum 1 Juli tidak cukup membuat Kepolisian benar-benar berdiri sendiri. Alasannya adalah, pertama, karena dengan Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946 yang kemudian dinilai tidak mampu menyelesaikan pembenahan administrasi dan teknis dalam tubuh Kepolisian sehingga kemudian keluarlah penetapan lain yakni Penetapan Pemerintah RI, Nomor 19/A/SD Tahun 1946, yang isinya adalah Kepala Daerah bertanggung jawab terhadap keamanan di masing-maisng wilayahnya tanpa adanya pengaturan hubungan antara Gubernur, Residen dan Bupati dengan Kepala Kepolisian.
Itu artinya masih ada campurtangan Pamongpraja dalam urusan keamanan di daerah sehingga membatasi langkah koordinasi langsung Kepolisian dalam menangani masalah kamtibmas secara nasional. “Dua tangan” yang bekerja dalam mengurus hal yang sama, tentu saja menimbulkan ketidakmasimalan dalam bekerja, terutama ini menyangkut keamanan nasional. Kepolisian berusaha membenahi hal ini untuk dapat bekerja maksimal terfokus pada urusan kamtibmas nasional.
Alasan kedua adalah pada tanggal 1 Agustus tahun 1947 Polri kemudian diintegrasikan ke dalam tubuh ABRI dengan Penetapan Dewan Pertahanan Perang. No. 112 tentang militerirasi Kepolisian Negara. Lalu pada tanggal 1 Juli tahun 2000 Polri kembali dinyatakan sebagai lembaga yang independen karena terpisah dari Departemen Pertahanan (Dephan). Ini sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 89 tahun 2000 yang menyatakan status Polri sebagai lembaga independen langsung berada di bawah pengawasan Presiden RI.
Itu artinya, Polri masih ‘keluar masuk’ dalam lembaga maupun departemen lainnya, yang tidak ada bedanya dengan proses berdasarkan keluarnya Polri dari Kementerian Dalam Negeri. Perkembangan demi perkembangan yang terjadi inilah yang membuat jika dengan alasan Polri berdiri sendiri pada 1 Juli 1946 dianggap sebagai hari lahir Polri, adalah hal yang tidak mendasar.
Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat biasa dalam kehidupan bernegara seperti halnya asimilasi atau peleburan atau dibentuknya lembaga/institusi baru untuk alasan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan negara yang terfokus. 1 Juli, lebih tepat diperingati sebagai hari dimana institusi Kepolisian mulai berdiri sendiri. Sehingga 1 Juli tidak memiliki alasan sejarah yang kuat sebagai hari lahirnya Kepolisian.
Melihat lemahnya alasan tersebut, tanggal 1 Juli bukanlah sebagai HUT Polri, bukan pula HUT Bhayangkara apalagi Dirgahayu Polri maupun Dirgahayu Bhayangkara. Karena 1 Juli bukanlah hari kelahiran Polri karena Penetapan Pemerintah RI Nomor 11/SD tahun 1946, yang selama ini dijadikan dasar lahirnya Polri bukan merupakan Akte Kelahiran Polri.
Lalu kapan Polri Lahir?
Di tengah telah ditasbihkannya 1 Juli sebagai hari kelahiran Polri selama berpuluh-puluh tahun, saat mana kelahiran institusi ini yang sesungguhnya, menjadi menarik untuk ditelusuri jejaknya.
Dalam sejarah perjalanan institusi Kepolisian, ada tiga peristiwa penting yang mewarnai rentetan sejarah yang menyisakan tiga tanggal “keramat”, yakni 19 Agustus 1945, 21 Agustus 1945 dan 1 Juli 1946.
Pertama adalah 1 Juli telah jelas bukanlah merupakan hari lahirnya Kepolisian. Kedua adalah tanggal 19 Agustus 1945, dimana inilah waktu pertama kalinya Kepolisian Negara RI mulai dibicarakan dan dibentuk secara resmi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, yakni, ketika pada sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kedua. Dalam siding kedua PPKI ini, Kepolisian dibentuk dengan nama Badan Kepolisian Negara. Namun Kepolisian kala itu bukanlah lembaga yang berdiri sendiri sebagai sebuah institusi melainkan hanya menjadi bagian yang dimasukkan ke dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Peristiwa ini tampaknya menjadi peristiwa biasa saja yang tidak memiliki nilai dan urgensi disebut sebagai peristiwa dimana Kepolisian mulai dilahirkan.
Dan yang ketiga adalah tanggal istimewa yang tidak boleh dilupakan oleh Polri, 21 Agustus 1945. Empat hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, yakni pada tanggal 21 Agustus 1945, Polisi seluruh Indonesia kemudian mengikrarkan diri bersatu dengan nama Polisi Republik Indonesia (PRI) dalam peristiwa Proklamasi Polisi. Peristiwa ini menjadi momentum pertama kalinya Polisi seluruh Indonesia dengan berbagai nama baik yang dibentuk oleh Pemerintah Jepang maupun lainnya, seperti Kotoka, Futsuka, Polisi Matjan, Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa) dan lainnya, memproklamasikan diri, bersatu sebagai Polisi Republik Indonesia (PRI).
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi Istimewa sebagai Polisi Repoeblik Indonesia.”
Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I
Ikrar yang diucapkan tanggal 21 Agustus 1945 ini merupakan masa dimana Republik Indonesia secara De Facto telah memiliki alat negara bernama Polisi yang bersatu sebagai Polri. Masa dimana Kepolisian yang mapan telah lahir dengan peran dan tanggung jawab terhadap Negara Kesatuan RI. Proklamasi Polri ini menjadi bagian perjalanan yang lepas dari daftar sejarah, sehingga Polri ketika itu belum memiliki “akte kelahiran” secara Deyure.
Adalah Moehammad Jasin seorang Polisi berpangkat Inspektur Kelas I (Letnan Satu) yang memimpin Proklamasi Polisi ini dan menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam menyatukan Kepolisian di negeri ini untuk berjuang bersama-sama membela dan mempertahankan negeri ini dari penjajah yang masih ingin menguasai Indonesia.
Peristiwa 21 Agustus 1945, merupakan bagian penting dari sejarah Polri yang mengawali bersatunya Polisi seluruh Indonesia melalui Proklamasi Polri yang dibacakan oleh M. Jasin di Surabaya. Ia menyatukan Polisi seluruh tanah air menjadi Polisi Republik Indonesia agar tidak tercerai-berai layaknya di masa penjajah.
Atas peran perjuangannya di masa revolusi inilah yang kemudian membuat Pemerintah RI menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Purnawirawan Dr. H. Moehammad Jasin, dengan Keputusan Presiden Nomor: 116/TK/Tahun 2015, tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, terhitung tanggal 4 November 2015.
M. Jasin dianugerahi gelar Pahlwan Nasional atas jasa-jasanya dalam membela dan mempertahankan NKRI dengan sifat-sifat nasionalismenya. Sebagai anggota dari Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsutai) yang nota bene bentukan Jepang, ia memihak kepada Republik Indonesia dengan segera mengambil langkah-langkah cepat untuk turut dalam gerakan revolusi, khususnya di tahun 1945. Begitu Proklamasi RI dibacakan, 17 Agustus 1945, ia mengadakan pertemuan dengan para anggota Polisi Istimewa tanggal 20 Agustus 1945, bersepakat merebut senjata dari gudang persenjataan Jepang untuk mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI.
Selain itu, penghormatan negara ini diberikan atas sikapnya yang bertentangan dengan pihak Jepang meski kala itu ia berstatus sebagai alat keamanan bagi Jepang. M. Jasin mengabaikan hal tersebut dan memilih memperkuat keberadaan RI khususnya di Surabaya dan menahan beberapa anggota Polisi Istimewa (orang Jepang) yang tidak senang dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. M. Jasin juga dinilai memiliki idealisme yang tinggi dengan tetap menjaga sikap hidup sederhana dan tidak pernah meminta sesuatu berupa materi meskipun itu merupakan haknya.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan sejarah mengapa Pemerintah RI menganugerahkannya gelar sebagai Pahlawan Nasional adalah karena pada tanggal 20 Agustus 1945 meski ia masih merupakan aparat keamanan Jepang, tetapi M. Jasin merumuskan langsung teks Proklamasi Polisi. Lalu kemudian pada tanggal 21 Agustus 1945, M. Jasin berdiri membacakan Proklamasi Polisi Istimewa sebagai Polisi Republik Indonesia untuk pertama kalinya di hadapan 250 orang anggota Polisi dan masyarakat di depan markas Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa), Surabaya.
Dan Proklamasi inilah yang kemudian menjadi pelopor untuk kesatuan-kesatuan Polisi Istimewa di seluruh wilayah Jawa Timur untuk mendukung kemerdekaan RI serta menjadi pelopor dalam mengambil alih kekuasaan pemerintah dari tangan Jepang. Atas jasa dan pengabdiannya pada negara itulah, M. Jasin menjadi Polisi pertama yang dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional.
Selain menganugerahkan M. Jasin sebagai Pahlawan Nasional, pengakuan Negara akan bersatunya Polisi Republik ini pada tanggal 21 Agustus 1945, juga tampak dari Monumen Perjuangan Polri yang berdiri di Jalan Raya Darmo Surabaya, tempat di mana Proklamasi Polisi pertama kali dikumandangkan. Selain itu, Proklamasi Polisi masih menyisakan saksi hidup yang langsung mengalami peristiwa bersatunya Polisi seluruh Indonesia ini, yakni Kapten Purnawirawan Polisi Moekari. Ia adalah satu-satunya anggota Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa) yang masih hidup saat ini tinggal di Surabaya.
Oleh karena itu 1 Juli tidak disebut sebagai Hari Lahir atau Hari Ulang Tahun Polri atau Bhayangkara. Kita sepakati saja 1 Juli yang setiap Tahun diperingati oleh Polri mulai sekarang kita katakan sebagai HARI BHAYANGKARA (wawancara Jenderal Polisi Puranawirawan Awaloedin Dajmin Mei 2014) .
Untuk itu; pertama, setiap tanggal 21 Agustus kita peringati sebagai HARI KEPOLISIAN NASIONAL dan tahun 2018 kita rayakan yang Ke 73. Kedua; setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai HARI BHAYANGKARA.
Ada banyak alasan tanggal 21 Agustus 1945 disebut sebagai HARI KEPOLISIAN NASIONAL.
1. Penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Komisaris Jenderal Polisi Purnawirawan M Jasin, atas jasanya memproklamasikan Polri tanggal 21 Agustus 1945
2. Pengakuan Jenderal Besar Soedirman yang mengirim surat pribadi memberi semangat dan apresiasi perjuangan kepada M. Jasin tertanggal 4 Agustus 1947 saat berada di medan pertempuran.
3. Adanya Monumen Perjuangan Polri di Jalan Raya Darmo Surabaya.
4. Bukti sejarah tempat pendidikan Tokubetsu Kei Satsutai, Gedung Broederschool yang kini menjadi SMA Katolik Saint Louis Surabaya.
5. Bukti sejarah gedung Wismilak di Surabaya yang menjadi asrama Tokubetsu Kei Satsutai
6. Proklamasi Polri masih meninggalkan saksi hidup Kapten Purnawirawan Polisi Moekari yang tinggal di Surabaya.
7. Terdapat Jalan M. Jasin Polisi Istimewa di Kota Surabaya.
8. Kesaksian Wakil Presiden ke – 6 yang juga mantan Panglima ABRI, Jenderal Tru Sutrisno bahwa Polri berjuang bersama TNI dan rakyat di mana M. Jasin menjadi komandan Pasukan Polisi Istimewa waktu itu.

SELAMAT
*HARI BHAYANGKARA*
KE 72 Tanggal 1 Juli 2018

SELAMAT
* HARI KEPOLISIAN NASIONAL* KE 73
Tanggal 21 AGUSTUS 2018

arifwachjunadi
walethitam.com

TOP